Kamis, 08 Mei 2014

Akad Nikah


BAB II
AKAD NIKAH : PENGERTIAN SYIGHOT, SYARAT WALI SAKSI, KEDUKUDAKN DAN JENIS MAHAR SERTA TATA CARA PELAKSANAANNYA
A.    Pengertian Syighot
1.      Pengertian Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul.[1] Ijab adalah lafadz yang berasal dari wali atau orang yang mewakilinya, sedangkan qabul adalah lafadz yang berasal dari suami atau orang yang mewakilinya.
Shighat akad nikah ialah perkataan-perkataan yang diucapkan oleh pihak calon suami dan pihak calon istri diwaktu dilakukan akad nikah. Shighot akad nikah terdiri atas “ijab dan qabul.” Ijab ialah pernyataan pihak calon istri bahwa ia bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Sedangkan qabul ialah pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.[2]
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwasannya akad nikah, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan terjadinya nikah.[3]
Dalam Al-Qur’an, surat Al-Ahzab ayat 37,  Allah SWT, berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” 
Sabda Rasulullah saw:
اِتَّقُ اللّهَ فِى النِّسَاءِفَاِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللّهِ . روه مسلم.
“Takutlah kamu sekailan kepada Allah dalam hal orang-orang perempuan, sesungguhnya kamu sekalian mengambil mereka dan membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, lafadz ijab qabul oleh wali/ayah terhadap calon mempelai pria adalah:
أَنْكَحْتُكَ أَوؤزَوَّجْتُكَ بِبِنْتِى . . . بِمَهْرٍ . . . حَالاً.
Artinya; “Aku nikahkan engkau, atau aku kawinkan engkau dengan anakku….(nama) dengan maskawinnya….tunai.” (ijab)
قَبِلْتُ نِكَاحَهَابِمَهْرِ . . . حَالاً.
Artinya; “Aku terima nikahnya dengan maskawinnya….tunai.” (qabul)
Mengenai lafadz ijab qabul ini harus dengan lafadz nikah atau tazwij atau artinya. Bagi yang bisa bahasa dan mengerti bahasa Arab hendaklah dengan bahasa Arab, tetapi bagi yang tidak bisa dengan artinya.[4]
2.      Syarat Ijab Qabul
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[5]:
a.       Kedua mempelai sudah tamyiz.
Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz, maka pernikahan tidak sah.
b.      Ijab qabulnya dalam satu majlis.
Yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qabul. Hal ini diperkuat di dalam KHI Pasal 27 bahwa ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak diselangi waktu. Hal ini juga didukung oleh Syafi’i dan Hanbali, sementara Maliki penyelingan yang sekedarnya, misalnya oleh khutbah nikah yang pendek tidak apa-apa. Sedangkan mazhab Hanafi tidak mensyaratkan segera.
c.       Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab.
d.      Pihak-pihak yang melakukan aqad harus dapat mendengarkan pernyataan masing-masingnya. Dikuatkan pula di dalam KHI Pasal 27 bahwa ijab dan qabul harus jelas sehingga dapat didengar.
Syarat Ijab Dan Qabul (Akad Nikah)[6] :
1.      Berturutan di antara lafaz ijab dan qabul
2.      Jelas sebutan ijab dan qabul
3.      Didengar oleh dua orang saksi yang memahami maksud ijab dan qabul
4.      Disebut nama perempuan dengan khusus (ijab)
5.      Tidak berta’liq / bersyarat ( tempoh yang tertentu )
6.      Tidak diselangi masa panjang antara ijab dan qabul mengikut uruf
7.      Menggunakan perkataan ‘nikah’ semasa ijab dan qabul atau yang membawa makna yang sama.
3.      Lafadz Dalam Ijab Qabul
Ibnu Taimiyah mengatakan, aqad nikah ijab kabulnya boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan terjadinya nikah.
Para Ulama Mazhab sepakat bahwa nikah itu sah bila dilakukan dengan menggunakan redaksi “aku mengawinkan” atau “aku menikahkan” dari pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi “aku terima” atau “aku setuju” dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya. [7]Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad nikah yang tidak menggunakan redaksi fi’il madhi atau menggunakan lafadz selain nikah atau kawin.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafadz at-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan dengan lafadz al-ijarah (upah) atau al-‘ariyah (pinjaman), sebab kedua kata tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.
Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah menggunakan lafadz al-nikah dan al-zawaj. Juga dianggap sah dengan lafadz al-hibah, dengan syarat harus disertai penyebutan mas kawin, selain kata-kata tersebut di atas tidak dianggap sah.
Sementara itu, mazhab Syafi’i berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata dari lafadz al-tazwij dan al-nikah saja, selain itu tidak sah.
4.      Ijab Qabul Orang Bisu
Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya. Tetapi Pengadilan Agama (Mesir) dalam pasal 28 menetapkan bahwa orang bisu yang bisa menulis, pernyataan dengan isyarat dianggap tidak sah.[8]
5.      Mendahulukan Pihak Perempuan Atau Laki-Laki
Dalam akad nikah itu tidak disyaratkan harus mendahulukan salah satu pihak. Jadi mendahulukan pihak laki-laki atau perempuan itu sama saja (sah). Sebagaimana dimaklumi dalam kitab-kitab fiqh dan andaikata salah satu akad tersebut tidak benar, maka dalam kitab Syarkhur Raudah.[9] diterangkan bahwa kesalahan dalam susunan kata-kata tidak merusakkan.
Sesungguhnya kesalahan dalam redaksional selama tidak merusak pengertian yang dimaksud, seyogyanya disamakan dengan kesalahan dalam tata bahasa, sehingga tidak berpengaruh pada keabsahannya.
Di dalam kitab mughni muhtaj pun dikatakan bahwa ijab boleh dilakukan oleh sang calon suami, sedangkan qabulnya diucapkan oleh wali sang mempelai wanita.

B.     Syarat Wali Saksi
1.      Pengertian Wali
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.[10]
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).[11]
2.      Macam-macam wali dan urutannya
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
a.       Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a)      Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b)      Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c)      Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d)     Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e)      Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f)       Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g)      Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h)      Anak paman seayah,
i)        Ahli waris kerabat lainya kalau ada.

b.      Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
a)      Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
b)      Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
c)      Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
d)     Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
e)      Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
f)       Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
g)       Walinya gila atau fasik.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.

c.       Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[12]

3.      Syarat-syarat wali
a.       Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
b.      Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi wali.
c.       Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
C.      `ãأَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)

d.      Orang merdeka.
e.       Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
  Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.[13]
 Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pedrnikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
f.       Tidak sedang melakukan ihram.
  Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
  Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.

4.      Saksi Dalam akad nikah
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.[14]
 Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
D.    لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍِّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ

 “Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’.
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan. Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”
 Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad  nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1) menyatakan dengan sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.

5.       Syarat-syarat saksi
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:[15]
a.       Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama.
Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
b.      Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
c.       Berakal
                        Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
d.      Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin laki-laki.
e.       Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
f.       Bilangan Jumlah Saksi
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat diterima.
Syafii: tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.
g.      Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
h.      Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.
6.      Pengaruh, fungsi dan tanggung jawab saksi
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Perbuatan halal biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena tidak ada keraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya, sebuah pernikahan yang dilandasi oleh cinta-kasih dan disetujui oleh kedua belah pihak, tidak perlu disembunyikan. Bila tidak ada saksi pada saat akad nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam keadaaan terpaksa atau ada sebab-sebab lainyang dipandang negatif oleh masyarakat. Oleh karena itu, disunatkan mengadakan resepsi perkawinan (walimatul ‘ursy).[16]

C.    Kedudukan dan Jenis Mahar Serta Tata Cara Pelaksanaannya
Ø  Kedudukan Mahar
1.      Pengertian dan Hukum Mahar
Mahar Secara etimologi berarti mas kawin. Sedangkan pengertian mahar menurut terminology ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.[17]
Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istrinya. Allah SWT. Berfirman :

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (٤)
“berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 4)

Nabi Muhammad SAW, juga bersabda;
تَزَوَّجْ وَلَوْبِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ (روه البخرى)
Artinya; “Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”. (HR. Bukhori)
Jika ia telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipuan muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, takut, maka ia tidak halal menerimanya. Allah Berfirman :[18]
“dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya walaupun sedikit. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)  dosa yang nyata?” (An-Nisa’ :20)
Mahar ini wajib diberikan kepada isteri sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata “mahar” ini. Ia merupakan jalan yang menjadikan isteri berhati senang dan Ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya. Allah berfirman :
“… kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah lah melebihkan sebagaian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena laki-laki telah menafkahkan harta mereka …” (An-Nisa’:34)
Disamping itu juga mahar adalah untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih saying dan cinta mencintai.







2.      Syarat-syarat Mahar
a.            Harta/bendanya berharga
Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
b.            Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c.            Barangnya bukan barang gasab
Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mnengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d.           Bukan barang yang tidak jelas keadannya.
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaanya, atau tidak disebutkan jenisnya.[19]

3.      Kadar (jumlah) Mahar
Islam tidak menetapkan berapa banyak mahar yang harus diberikan kepada calon istri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antar sesama manusia. Ada orang yang kaya dan ada yang miskin, ada yang lapang dan ada yang disempitkan rizkinya. Disamping itu, setiap masyarakat memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda. Besarnya mahar fuqaha sepakat tidak ada batasnya, namun mereka berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya.
Imam Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Saur, dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain maka dapat dijadikan sebagai mahar.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham atau bisa dengan barang yang sebanding dengan berat emas dan perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat dirham.

4.      Memberi Mahar dengan Kontan dan Utang
Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Akan tetapi, yang lebih baik, bahkan disunnahkan apabila akan diangsur sebaiknya diberikan langsung sebagian lebih dulu, sedangkan kekurangannya dilakukan secara berangsur-angsur.
Perbedaan pendapat karena apakah pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya.
Bagi fuqaha yang mengatakan dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedang yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.

5.      Mahar Berlebih-lebihan
Islam sangat menghendaki meluaskan jalan dan kesempatan kepada sebanyak mungkin laki-laki dan perempuan untuk menempuh hidup suami istri, agar masing-masing dapat menikmati hubungan yang halal dan baik. Tetapi Islam tidak menyukai mahar yang berlebihan. Bahkan sebaliknya mengatakan bahwa setiap kali mahar itu lebih murah sudah tentu akan member barakah dalam kehidupan suami istri. Dan mahar yang murah adalah menjukkan kemurahan hati si wanita tersebut.
Dari `Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda :
“Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang paling murah maharnya”. Dan sabdanya pula: “Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinannya dan baik akhlaknya. Sedang perempuan yang celaka yaitu, yang maharnya mahal, sulit perkawinannya dan buruk akhlaknya.”
Banyak sekali manusia tidak mengenal ajaran ini. Bahkan menyalahinya dan berpegang kepada adat jahiliyah dalam pemberian mahar yang berlebih-lebihan.
Ø  Jenis Mahar Dalam Pernikahan
1.      Macam-macam Mahar
a.      Mahar Musamma
Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila :
·         Telah bercampur (bersenggama)
·         Apabila salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
      Mahar musamma  juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu seperti : ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.
      Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya. Kemudian dalam hal khalwat  atau bersenang-senang dengan buka-bukaan dan belum terjadi persetbuhan, maka tidak wajib membayar mahar seluruhnya. Dan dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih.
     
b.      Mahar Misil (Sepadan)
Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada maka misil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
            Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut :
-          Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
-          Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.

Jika istri menuntut penentuan mahar
Apabila istri menuntut penentuan mahar bagi dirinya, maka golongan fuqaha berpendapat bahwa ia berhak memperoleh mahar misil. Akan tetapi, jika suami menceraikan istrinya sesudah memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha mengatakan bahwa istri memperoleh separuh mahar.
Jika suami meninggal sebelum menentukan mahar
            Apabila suami meninggal dunia sebelum menentukan mahar, dan belum menggauli istrinya, maka Imam Malik dengan para pengikutnya serta Al-Auza’li berpendapat bahwa, istri tidak memperoleh mahar tetapi memperoleh mut’ah dan warisan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, istri memperoleh mahar misil dan warisan Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
2.      Gugur/Rusaknya Mahar
Rusaknya mahar bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan. Mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar, babi, dan barang-barang yang tidak boleh dimiliki, sedangkan mahar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya isamakan dengan jual beli yang mengandung 5 persoalan pokok, yaitu :
a.      Barangnya tidak boleh dimiliki.
b.      Mahar digabungkan dengan jual beli.
c.      Penggabungan mahar dengan pemberian.
d.      Cacat pada mahar.
e.      Persyaratan dalam mahar.
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri. Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri yang belum digauli melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya.
3.      Mahar Yang dipersengketakan Suami Istri
a.       Kadar mahar
Jika terjadi persengketaan tentang besarnya mahar, misalnya: jika istri mengatakan 200 dirham sedangkan suami mengatakan 100 dirham, maka terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama’ fiqh.
Imam Malik mengatakan bahwa apabila persengketaan tersebut terjadi sebelum dukhul, sedangkan suami mengeluarkan kata-kata yang mirip dengan kata-kata istri dan istri juga mengatakan kata-kata yang mirip dengan kata-kata suami, maka keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan. Jika salah satu bersumpah, sedangkan yang lainnya menolak, maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata orang yang bersumpah.
Apabila persengketaan itu terjadi, sesudah dukhul maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami.

b.      Penerimaan mahar
Apabila suami istri bersengketa masalah penerimaan, yaitu apabila istri mengatakan belum menerima mahar, sedangkan suami mengatakan sudah memberikannya, maka jumhur fuqaha, seperti Imam Syafi’I, As-Sauri, Ahmad, dan Abu Saur berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri, dan ini lebih baik, karena ia menjadi pihak tergugat.
c.       Persengketaan mengenai Macam/ Jenis Mahar
Ibnu Qasar berpendapat bahwa keduanya saling bersumpah sebelum dukhul. Adapun kalau sesudah dukhhul maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami. Sedangkan Ashbah berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami apabila kata-katanya mirip, baik mirip dengan kata-kata istri atau tidak. Jiak kata-kata suami mirip sedang kata-kata istri juga mirip, maka keduanya saling bersumpah dan istri memperoleh mahar misil.
d.      Persengketaan mengenai waktu
Bagi fuqaha yang menyamakan pernikahan dengan jual beli, maka mereka berpendapat bahwa, mahar baru menjadi wajib setelah dukhul. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa pernikahan merupakan suatu ibadah yang menjadi syarat kehalalan, maka mereka mengatakan bahwa mahar menjadi wajib sebelum dukhul.
Itulah sebabnya Imam Malik menganjurkan agar suami memberikan mahar sebelum dukhul.


[1] Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2007). Hal. 61
[2] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 74
[3] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 6, (Bandung: PT Alma’arif,1980), hal. 55
[4] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang,1993), hal.22-24
[5] Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah Jilid 6. . . Hal. 53
[7] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: LENTERA, 2005). Hal. 309.
[8] Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. , , , hal. 59.
[9]Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam. (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004). Hal. 120.
[10] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, , , ,hal .65
[11] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Toha Putra, 1978), hal. 456
[12] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2 (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal. 25
[13] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, jilid. 2 (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hal.82
[14] Djaaman Nur, Fiqh Munakahah. . . , hal. 61
[15] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 83
[16] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, ( Jakarta: Grafindo Persada, 1997 ), hal. 153
[17] Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet.III, hal .84
[18] Sayyid Sabiq, , Fikih Sunnah 7, cet 8, (Bandung: PT Ala-Ma’arif, 1993) hal. 53
[19] http://failaaleesblog.blogspot.com/2012/03/mahar-dalam-nikah.html di kases pada tanggal 20 feb 2014 pukul 13.10pm