BAB II
AKAD NIKAH : PENGERTIAN SYIGHOT, SYARAT WALI SAKSI, KEDUKUDAKN DAN
JENIS MAHAR SERTA TATA CARA PELAKSANAANNYA
A.
Pengertian
Syighot
1.
Pengertian
Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang
berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab
dan qabul.[1]
Ijab adalah lafadz yang berasal dari wali atau orang yang mewakilinya,
sedangkan qabul adalah lafadz yang berasal dari suami atau orang yang
mewakilinya.
Shighat
akad nikah ialah perkataan-perkataan yang diucapkan oleh pihak calon suami dan
pihak calon istri diwaktu dilakukan akad nikah. Shighot akad nikah terdiri atas
“ijab dan qabul.” Ijab ialah pernyataan pihak calon istri bahwa ia bersedia
dinikahkan dengan calon suaminya. Sedangkan qabul ialah pernyataan atau jawaban
pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi
istrinya.[2]
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwasannya
akad nikah, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan
apa saja yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan terjadinya
nikah.[3]
Dalam Al-Qur’an, surat Al-Ahzab ayat 37, Allah SWT,
berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata
kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)
Telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada
Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap
Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
Sabda Rasulullah saw:
اِتَّقُ اللّهَ فِى
النِّسَاءِفَاِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ
بِكَلِمَةِ اللّهِ . روه مسلم.
“Takutlah kamu sekailan kepada Allah
dalam hal orang-orang perempuan, sesungguhnya kamu sekalian mengambil mereka
dan membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, lafadz ijab qabul
oleh wali/ayah terhadap calon mempelai pria adalah:
أَنْكَحْتُكَ أَوؤزَوَّجْتُكَ
بِبِنْتِى . . . بِمَهْرٍ . . . حَالاً.
Artinya; “Aku nikahkan engkau,
atau aku kawinkan engkau dengan anakku….(nama) dengan maskawinnya….tunai.”
(ijab)
قَبِلْتُ نِكَاحَهَابِمَهْرِ . . .
حَالاً.
Artinya; “Aku terima nikahnya dengan maskawinnya….tunai.”
(qabul)
Mengenai lafadz ijab qabul ini harus
dengan lafadz nikah atau tazwij atau artinya. Bagi yang bisa bahasa dan
mengerti bahasa Arab hendaklah dengan bahasa Arab, tetapi bagi yang tidak bisa
dengan artinya.[4]
2.
Syarat
Ijab Qabul
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai
akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut[5]:
a. Kedua mempelai sudah tamyiz.
Bila salah satu pihak ada yang gila
atau masih kecil dan belum tamyiz, maka pernikahan tidak sah.
b. Ijab qabulnya dalam satu majlis.
Yaitu
ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau
menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan
qabul. Hal ini diperkuat di dalam KHI Pasal 27 bahwa ijab dan qabul antara wali
dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak diselangi waktu. Hal
ini juga didukung oleh Syafi’i dan Hanbali, sementara Maliki penyelingan yang
sekedarnya, misalnya oleh khutbah nikah yang pendek tidak apa-apa. Sedangkan
mazhab Hanafi tidak mensyaratkan segera.
c. Hendaklah ucapan qabul tidak
menyalahi ucapan ijab.
d. Pihak-pihak yang melakukan aqad
harus dapat mendengarkan pernyataan masing-masingnya. Dikuatkan pula di dalam
KHI Pasal 27 bahwa ijab dan qabul harus jelas sehingga dapat didengar.
Syarat
Ijab Dan Qabul (Akad Nikah)[6]
:
1. Berturutan di antara lafaz ijab dan
qabul
2. Jelas sebutan ijab dan qabul
3. Didengar oleh dua orang saksi yang
memahami maksud ijab dan qabul
4. Disebut nama perempuan dengan khusus
(ijab)
5. Tidak berta’liq / bersyarat ( tempoh
yang tertentu )
6. Tidak diselangi masa panjang antara
ijab dan qabul mengikut uruf
7. Menggunakan perkataan ‘nikah’ semasa
ijab dan qabul atau yang membawa makna yang sama.
3.
Lafadz
Dalam Ijab Qabul
Ibnu Taimiyah mengatakan, aqad nikah
ijab kabulnya boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja
yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan terjadinya nikah.
Para Ulama Mazhab sepakat bahwa
nikah itu sah bila dilakukan dengan menggunakan redaksi “aku mengawinkan” atau
“aku menikahkan” dari pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan
redaksi “aku terima” atau “aku setuju” dari pihak yang melamar atau orang yang
mewakilinya. [7]Akan
tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad nikah yang tidak menggunakan
redaksi fi’il madhi atau menggunakan lafadz selain nikah atau kawin.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad
boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukan maksud menikah, bahkan
sekalipun dengan lafadz at-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan),
al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan),
dan al-ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan
qarinah yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan
dengan lafadz al-ijarah (upah) atau al-‘ariyah (pinjaman), sebab
kedua kata tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.
Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa
akad nikah dianggap sah menggunakan lafadz al-nikah dan al-zawaj.
Juga dianggap sah dengan lafadz al-hibah, dengan syarat harus disertai
penyebutan mas kawin, selain kata-kata tersebut di atas tidak dianggap sah.
Sementara itu, mazhab Syafi’i
berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata dari lafadz al-tazwij dan
al-nikah saja, selain itu tidak sah.
4.
Ijab
Qabul Orang Bisu
Ijab qabul orang bisu sah dengan
isyaratnya, bilamana dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual
belinya yang sah dengan jalan isyaratnya. Tetapi Pengadilan Agama (Mesir) dalam
pasal 28 menetapkan bahwa orang bisu yang bisa menulis, pernyataan dengan
isyarat dianggap tidak sah.[8]
5.
Mendahulukan
Pihak Perempuan Atau Laki-Laki
Dalam akad nikah itu tidak
disyaratkan harus mendahulukan salah satu pihak. Jadi mendahulukan pihak
laki-laki atau perempuan itu sama saja (sah). Sebagaimana dimaklumi dalam
kitab-kitab fiqh dan andaikata salah satu akad tersebut tidak benar, maka dalam
kitab Syarkhur Raudah.[9]
diterangkan bahwa kesalahan dalam susunan kata-kata tidak merusakkan.
Sesungguhnya kesalahan dalam
redaksional selama tidak merusak pengertian yang dimaksud, seyogyanya disamakan
dengan kesalahan dalam tata bahasa, sehingga tidak berpengaruh pada
keabsahannya.
Di dalam kitab mughni muhtaj pun
dikatakan bahwa ijab boleh dilakukan oleh sang calon suami, sedangkan qabulnya
diucapkan oleh wali sang mempelai wanita.
B. Syarat Wali Saksi
1. Pengertian Wali
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki
yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang
dilakukan oleh walinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab,
yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta,
saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung
pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus
kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin
perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin
pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka
tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu
pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu
menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu
pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung
melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.[10]
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi
izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau
mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang
laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan,
karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).[11]
2. Macam-macam
wali dan urutannya
Wali dalam
pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
a. Wali Nasab
Wali nasab
adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak
menjadi wali.
Dalam
menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan
ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan
Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali.
Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat
(wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek.
Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan
dikawinkannya.
Kedua: wali jauh
(wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek,
juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai
berikut:
a)
Saudara
laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b)
Saudara
laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c)
Anak saudara
laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d)
Anak saudara
laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e)
Paman kandung,
kalau tidak ada pindah kepada.
f)
Paman seayah,
kalau tidak ada pindah kepada.
g)
Anak paman
kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h)
Anak paman
seayah,
i)
Ahli waris
kerabat lainya kalau ada.
b. Wali Hakim
Wali hakim
adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam
suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon
mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
a) Walinya mafqud,
artinya tidak tentu keberadaannya.
b) Wali sendiri
yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak
ada.
c) Wali berada
ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan
shalat qashar) yaitu 92,5 km.
d) Wali berada
dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
e) Wali sedang
melakukan ibadah haji atau umroh.
f) Anak Zina (dia
hanya bernasab dengan ibunya).
g) Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama
sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
c. Wali Muhakkam
Wali muhakkam
adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak
sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam
adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama
tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[12]
3. Syarat-syarat
wali
a. Muslim, tidak
sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
b. Sudah dewasa (baligh)
dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi
wali.
c. Laki-laki.
Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Seorang wanita
tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri.
Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka
pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
C.
`ãأَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ
الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ
الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya: ”Dari
Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak
bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan
dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani
dalam Shohihul Jami’ 7298)
d. Orang merdeka.
e. Adil (orang fasik tidak sah menjadi
wali)
Telah
dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak
fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat
munkar.[13]
Ada pendapat
yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan
cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan
sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari
Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pedrnikahan kecuali dengan wali dan dua orang
saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
f. Tidak sedang melakukan ihram.
Jumhur ulama
mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih
ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang
lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya
yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali qarib
tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik
dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di
atas.
4. Saksi Dalam
akad nikah
Saksi menurut
bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa
(kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan
keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.[14]
Rasulullah sendiri dalam berbagai
riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya
saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
D. لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍِّ وَ
شَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak
sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’.
Bahkan dalam
sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur
(al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri
tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Malikiyah
mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan. Pandangan Malikiyah
berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Malikiyah
mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak
harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui i’lan. Malikiyah
membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami sebagai
media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya
sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut
Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan
diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinya.
Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu
sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian. Meski demikian
mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan mereka
terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang
benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan
hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan
perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi
yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun
pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang
saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad nikah mutlak
diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah
pernikahan tersebut dianggap tidak sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal
26 (1) menyatakan dengan sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di
muka Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak
sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat
dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas
dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.
5.
Syarat-syarat
saksi
Akad pernikahan
harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk
menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang yang
menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:[15]
a. Islam
Dua orang saksi
itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama.
Namun menurut
Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim
kawin dengan wanita kitabiyah.
b. Baligh
Anak-anak tidak
dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena
kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat
tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan
satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
c. Berakal
Orang gila
tidak dapat dijadikan saksi.
d. Mendengar Dan
Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus
mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin
laki-laki.
e. Laki-Laki
Laki-laki
merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama
selain Hanafiyah.
f. Bilangan Jumlah
Saksi
Hanafi dan
Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat
diterima.
Maliki dan
Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat
diterima.
Syafii: tidak
diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.
g. Adil
Saksi harus
orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian
pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
h. Melihat
Syafiiyah
berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat
menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd
qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.
6. Pengaruh,
fungsi dan tanggung jawab saksi
Kehadiran saksi
pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan
kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak,
sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari
istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya)
dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan
jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai
penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi
menjadi syarat sah akad nikah.
Saksi adalah
sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Perbuatan halal biasanya
dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena tidak ada
keraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya,
sebuah pernikahan yang dilandasi oleh cinta-kasih dan disetujui oleh kedua
belah pihak, tidak perlu disembunyikan. Bila tidak ada saksi pada saat akad
nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam keadaaan terpaksa atau ada
sebab-sebab lainyang dipandang negatif oleh masyarakat. Oleh karena itu,
disunatkan mengadakan resepsi perkawinan (walimatul ‘ursy).[16]
C.
Kedudukan dan Jenis
Mahar Serta Tata Cara Pelaksanaannya
Ø Kedudukan Mahar
1.
Pengertian dan Hukum Mahar
Mahar Secara
etimologi berarti mas kawin. Sedangkan pengertian mahar menurut terminology
ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri
sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya.[17]
Mahar hanya
diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau
siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah
apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha
dan kerelaan istrinya. Allah SWT. Berfirman :
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (٤)
“berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 4)
Nabi
Muhammad SAW, juga bersabda;
تَزَوَّجْ وَلَوْبِخَاتِمٍ مِنْ
حَدِيْدٍ (روه البخرى)
Artinya; “Kawinlah
engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”. (HR. Bukhori)
Jika
ia telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipuan muslihat lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan
tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, takut, maka ia tidak
halal menerimanya. Allah Berfirman :[18]
“dan
jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali daripadanya walaupun sedikit. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata?” (An-Nisa’
:20)
Mahar
ini wajib diberikan kepada isteri sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata
“mahar” ini. Ia merupakan jalan yang menjadikan isteri berhati senang dan Ridha
menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya. Allah berfirman :
“…
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah lah
melebihkan sebagaian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)
dan karena laki-laki telah menafkahkan harta mereka …” (An-Nisa’:34)
Disamping
itu juga mahar adalah untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih
saying dan cinta mencintai.
2.
Syarat-syarat Mahar
a.
Harta/bendanya berharga
Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi
bernilai maka tetap sah.
b.
Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua
itu haram dan tidak berharga.
c.
Barangnya bukan barang gasab
Ghasab
artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud
untuk memilikinya karena berniat untuk mnengembalikannya kelak. Memberikan
mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d.
Bukan barang yang tidak jelas keadannya.
Tidak
sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaanya, atau tidak
disebutkan jenisnya.[19]
3.
Kadar (jumlah) Mahar
Islam tidak
menetapkan berapa banyak mahar yang harus diberikan kepada calon istri. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan antar sesama manusia. Ada orang yang kaya dan ada
yang miskin, ada yang lapang dan ada yang disempitkan rizkinya. Disamping itu,
setiap masyarakat memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda. Besarnya mahar
fuqaha sepakat tidak ada batasnya, namun mereka berbeda pendapat tentang
batasan paling sedikitnya.
Imam Syafi’I,
Ahmad, Ishaq, Abu Saur, dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in mengatakan
bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi
harga bagi sesuatu yang lain maka dapat dijadikan sebagai mahar.
Sebagian fuqaha
yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan
para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar
emas murni, atau perak seberat tiga dirham atau bisa dengan barang yang
sebanding dengan berat emas dan perak tersebut.
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.
Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat
dirham.
4.
Memberi Mahar dengan Kontan dan Utang
Pelaksanaan
membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan
keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Akan tetapi, yang
lebih baik, bahkan disunnahkan apabila akan diangsur sebaiknya diberikan
langsung sebagian lebih dulu, sedangkan kekurangannya dilakukan secara berangsur-angsur.
Perbedaan
pendapat karena apakah pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam
hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya.
Bagi
fuqaha yang mengatakan dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat
bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian.
Sedang yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli, mereka
berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa
pernikahan itu merupakan ibadah.
5.
Mahar Berlebih-lebihan
Islam sangat
menghendaki meluaskan jalan dan kesempatan kepada sebanyak mungkin laki-laki
dan perempuan untuk menempuh hidup suami istri, agar masing-masing dapat
menikmati hubungan yang halal dan baik. Tetapi Islam tidak menyukai mahar yang
berlebihan. Bahkan sebaliknya mengatakan bahwa setiap kali mahar itu lebih
murah sudah tentu akan member barakah dalam kehidupan suami istri. Dan mahar
yang murah adalah menjukkan kemurahan hati si wanita tersebut.
Dari `Aisyah
bahwa Nabi SAW bersabda :
“Sesungguhnya perkawinan
yang besar barakahnya adalah yang paling murah maharnya”. Dan sabdanya pula:
“Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan
perkawinannya dan baik akhlaknya. Sedang perempuan yang celaka yaitu, yang
maharnya mahal, sulit perkawinannya dan buruk akhlaknya.”
Banyak sekali
manusia tidak mengenal ajaran ini. Bahkan menyalahinya dan berpegang kepada
adat jahiliyah dalam pemberian mahar yang berlebih-lebihan.
Ø Jenis Mahar
Dalam Pernikahan
1.
Macam-macam Mahar
a.
Mahar Musamma
Yaitu mahar
yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Ulama fiqih
sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara
penuh apabila :
·
Telah bercampur (bersenggama)
·
Apabila salah satu dari suami istri meninggal.
Demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah
bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu
seperti : ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda,
atau hamil dari bekas suami lama.
Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar
setengahnya. Kemudian dalam hal khalwat atau bersenang-senang
dengan buka-bukaan dan belum terjadi persetbuhan, maka tidak wajib membayar mahar
seluruhnya. Dan dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih.
b.
Mahar Misil (Sepadan)
Yaitu mahar
yang tidak disebut besar kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi
pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara
perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila
tidak ada maka misil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat
dengan dia.
Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut :
-
Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika
berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau
meninggal sebelum bercampur.
-
Kalau mahar musamma belum dibayar,
sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Jika istri
menuntut penentuan mahar
Apabila
istri menuntut penentuan mahar bagi dirinya, maka golongan fuqaha berpendapat
bahwa ia berhak memperoleh mahar misil. Akan tetapi, jika suami
menceraikan istrinya sesudah memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha
mengatakan bahwa istri memperoleh separuh mahar.
Jika suami
meninggal sebelum menentukan mahar
Apabila suami meninggal dunia sebelum menentukan mahar, dan belum menggauli
istrinya, maka Imam Malik dengan para pengikutnya serta Al-Auza’li berpendapat
bahwa, istri tidak memperoleh mahar tetapi memperoleh mut’ah dan
warisan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, istri memperoleh mahar misil dan
warisan Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
2.
Gugur/Rusaknya Mahar
Rusaknya
mahar bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari
barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan. Mahar yang
rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar, babi, dan barang-barang yang
tidak boleh dimiliki, sedangkan mahar yang rusak karena sulit dimiliki atau
diketahui, pada dasarnya isamakan dengan jual beli yang mengandung 5 persoalan
pokok, yaitu :
a.
Barangnya tidak boleh dimiliki.
b.
Mahar digabungkan dengan jual beli.
c.
Penggabungan mahar dengan pemberian.
d.
Cacat pada mahar.
e.
Persyaratan dalam mahar.
Mengenai
gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar
seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri.
Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri yang belum digauli melepaskan
maharnya atau menghibahkan padanya.
3.
Mahar Yang dipersengketakan Suami Istri
a.
Kadar mahar
Jika terjadi
persengketaan tentang besarnya mahar, misalnya: jika istri mengatakan 200
dirham sedangkan suami mengatakan 100 dirham, maka terdapat perbedaan pandangan
di kalangan ulama’ fiqh.
Imam Malik mengatakan
bahwa apabila persengketaan tersebut terjadi sebelum dukhul, sedangkan
suami mengeluarkan kata-kata yang mirip dengan kata-kata istri dan istri juga
mengatakan kata-kata yang mirip dengan kata-kata suami, maka keduanya saling
bersumpah dan saling membatalkan. Jika salah satu bersumpah, sedangkan yang
lainnya menolak, maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata orang yang
bersumpah.
Apabila
persengketaan itu terjadi, sesudah dukhul maka yang dijadikan pegangan
adalah kata-kata suami.
b.
Penerimaan mahar
Apabila suami
istri bersengketa masalah penerimaan, yaitu apabila istri mengatakan belum
menerima mahar, sedangkan suami mengatakan sudah memberikannya, maka jumhur
fuqaha, seperti Imam Syafi’I, As-Sauri, Ahmad, dan Abu Saur berpendapat bahwa
yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri, dan ini lebih baik, karena ia
menjadi pihak tergugat.
c.
Persengketaan mengenai Macam/ Jenis Mahar
Ibnu Qasar
berpendapat bahwa keduanya saling bersumpah sebelum dukhul. Adapun kalau
sesudah dukhhul maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami.
Sedangkan Ashbah berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata
suami apabila kata-katanya mirip, baik mirip dengan kata-kata istri atau tidak.
Jiak kata-kata suami mirip sedang kata-kata istri juga mirip, maka keduanya
saling bersumpah dan istri memperoleh mahar misil.
d.
Persengketaan mengenai waktu
Bagi fuqaha
yang menyamakan pernikahan dengan jual beli, maka mereka berpendapat bahwa,
mahar baru menjadi wajib setelah dukhul. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat
bahwa pernikahan merupakan suatu ibadah yang menjadi syarat kehalalan, maka
mereka mengatakan bahwa mahar menjadi wajib sebelum dukhul.
Itulah sebabnya
Imam Malik menganjurkan agar suami memberikan mahar sebelum dukhul.
[2] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang
Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 74
[5] Sayyid
Sabiq. Fikih Sunnah Jilid 6. . . Hal. 53
[6]http://www.masjidwilayah.gov.my/v1/index.php?option=com_content&view=article&id=183:syarat-wali-syarat-dua-orang-saksi-&catid=71:jurunikah&Itemid=15 di akses pada tanggal 20 Feb 2014 pukul11.10pm
[9]Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam.
(Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004). Hal. 120.
[15] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, cet.3 (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 83
[17] Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet.III, hal .84
[18] Sayyid Sabiq,
, Fikih Sunnah 7, cet 8, (Bandung: PT Ala-Ma’arif, 1993) hal. 53
[19] http://failaaleesblog.blogspot.com/2012/03/mahar-dalam-nikah.html di
kases pada tanggal 20 feb 2014 pukul 13.10pm